Aku berjalan menuju tempat perlengkapan mandi, membuka beberapa tutup botol, mencium aromanya, lalu mengoleskannya ke punggung tanganku untuk melihat apakah bisa menghasilkan busa. Setelah menemukan beberapa yang cocok, aku mengambilnya dan menuangkannya ke kain.
Teksturnya licin, wanginya cukup enak, dan saat digosok bisa berbusa. Sepertinya ini memang sabun untuk membersihkan tubuh.
“Hiks…”
Saat aku sedang membuat busa di kain, terdengar suara tangisan. Ketika aku mengangkat kepala, aku melihat Asuka mengangkat tangannya yang terluka di atas kepala sambil menangis, air matanya menetes tanpa henti.
“Tangannmu perih?”
Begitu aku bertanya, Asuka mengangguk.
Tapi meskipun perih, tidak ada pilihan lain. Dia harus dibersihkan dulu sebelum bisa diobati atau dibalut perban.
Karena itu, aku memintanya untuk tetap mengangkat tangannya dan dengan cepat mulai menggosok tubuhnya dari kepala hingga kaki, seperti mencuci pakaian.
Ini pertama kalinya aku memandikan seseorang, jadi rasanya canggung dan kaku. Tapi ternyata tidak terlalu sulit-hanya perlu digosok, lalu dibilas dengan air.
Namun, tepat ketika aku berpikir semuanya berjalan lancar, aku menghadapi masalah baru.
“Jangan terlalu dekat.”
Asuka terus mendekatiku perlahan, mencoba menempel di sisiku.
Akibatnya, busa sabun ikut menempel di tubuhku, dan air terciprat kemana-mana. Penampilanku sekarang benar-benar seperti pengemis yang kehujanan.
“Sudah kubilang kan aku akan memberimu darah nanti?”
Asuka yang awalnya hanya menempel di sampingku akhirnya menundukkan kepalanya dan membenamkannya tepat di dadaku. Perlahan, dia mulai mendekatkan mulutnya ke lengan atasku.
Aku segera menariknya menjauh, memegang kepalanya agar tidak bisa mendekat lagi. Setelah itu, aku buru-buru mengeringkan tubuhku dan mengenakan jubah mandi.
“Keluar dulu.”
“Aku sakit….”
“Aku juga sakit. Pinggangku sakit, lenganku juga, bahkan leherku rasanya mau copot.”
Baru kali ini aku sadar betapa melelahkannya memandikan seseorang. Aku mulai berpikir bahwa para pelayan yang biasanya membantu mandi harus mendapatkan gaji lebih banyak.
Sambil memikirkan hal itu, aku segera melepas pakaianku dan membersihkan sisa darah yang masih menempel di tubuhku. Lalu, aku masuk ke dalam bak mandi.
Namun, tak lama setelah aku masuk, Asuka-yang masih mengenakan jubah mandinya-mengikuti dari belakang dan ikut masuk. Ujung jubahnya sudah basah terkena air.
Aku hendak menegurnya, tapi terlalu lelah untuk peduli. Akhirnya, aku membiarkannya saja. Aku duduk di dalam bak mandi, menyandarkan punggung, dan menutup mata.
Aku benar-benar merasa akan mati karena kelelahan.
“…..”
Beberapa detik berlalu dalam ketenangan, tetapi tiba-tiba, aku merasakan sedikit rasa sakit di bahuku.
Ketika aku menoleh, aku melihat Asuka yang duduk di sampingku sedang menggigit bahuku dengan keras, seperti sedang menggigit apel.
“…..”
Setiap kali dia menggigit dan melepaskan gigitannya, tekanan yang dia berikan semakin kuat.
Aku terlalu malas untuk bergerak, tetapi jika aku membiarkannya, bahuku akan bernasib sama seperti leherku sebelumnya.
Akhirnya, aku mendorong dahi Asuka dengan jariku.
Awalnya, dia terdorong dengan mudah, tetapi kemudian dia mulai mengerutkan wajahnya dan berusaha melawan dengan memberikan lebih banyak tekanan.
“Padahal aku sudah repot-repot memandikanmu sampai bersih….”
Meskipun tenaganya tidak kuat, melihat dia kembali menangis membuatku pusing. Aku merasa lebih baik segera keluar dari sini.
Aku melepas jubahnya yang basah dan menggantinya dengan pakaian baru sebelum keluar dari kamar mandi.
Dengan membawa Asuka yang seperti beban ini, aku menuju kamar tempat kami akan tinggal bersama mulai sekarang.
Saat melihat tempat tidur yang empuk dan nyaman, aku merasa ingin langsung menjatuhkan diri dan tidur, tetapi aku tidak bisa melakukannya.
“Aku akan memberimu darah, jadi duduk di sana.”
“…..”
“Duduk dulu, baru aku beri.”
“…..”
Tadi dia masih cukup menurutiku, tetapi sekarang dia sama sekali tidak merespons.
Alih-alih mendengarkan, dia malah menempel di pinggangku seperti lintah, memeluk erat-erat.
Akhirnya, aku mengambil perban dan obat luka, lalu mengeluarkan belati dan meletakkan ujungnya di lenganku.
Saat itulah Asuka, yang sebelumnya membenamkan wajahnya di dadaku, akhirnya mulai menunjukkan ketertarikan.
Perlahan, genggamannya di pinggangku mulai melemah.
Ujung belati menusuk kulitku, dan dalam sekejap, tetesan darah mulai mengalir. Saat itu juga, Asuka langsung melompat untuk menyedot darahku, tetapi aku buru-buru menangkap tengkuknya dan memperingatkan dengan serius.
“Jangan gigit, cukup hisap saja. Mengerti?”
Asuka dengan cepat mengangguk. Aku masih merasa ragu, tapi aku terlalu lelah untuk mengkhawatirkan hal itu lebih lama. Begitu aku melepaskan tangannya, dia langsung menempelkan bibirnya ke luka di lenganku.
Kekuatannya saat menghisap begitu kuat hingga meskipun dia tidak menggigit, tetap terasa sakit. Seolah itu belum cukup, dia terus menjilat area yang terluka, mungkin karena darah yang keluar tidak sebanyak yang dia inginkan. Aku refleks mengerutkan wajah karena rasa perihnya.
“…..”
Asuka terus menghisap dengan suara “sruup sruup”, seakan menikmati darah yang mengalir. Sementara itu, kelopak mataku mulai terasa berat.
Rasa sakit tetap ada, tetapi rasa lelah jauh lebih mendominasi.
Secara perlahan, aku menggeser kakiku menuju tempat tidur. Anehnya, Asuka masih menempel di lenganku dan ikut bergerak bersamaku. Aku akhirnya menjatuhkan diri ke atas kasur, dan Asuka pun ikut berbaring di sampingku.
Dengan satu lengan yang masih ia pegang, aku memejamkan mata dan mengucapkan selamat tinggal pada hari yang panjang dan melelahkan ini.
***
Sudah berapa lama sejak terakhir kali aku tidur tanpa bermimpi seperti ini?
Biasanya, aku selalu mengalami gangguan tidur, sehingga sangat jarang bisa bangun dengan perasaan segar. Tapi hari ini, entah kenapa, tubuhku terasa sangat ringan.
Saat aku membuka mata, hal pertama yang kulihat adalah helaian rambut putih yang tersebar di atas seprai.
Asuka tertidur lelap, hanya memperlihatkan puncak kepalanya di balik selimut yang membungkus tubuhnya.
Aku mengedipkan mata beberapa kali untuk mengusir rasa kantuk, lalu perlahan bangkit dari tempat tidur.
“…..”
Begitu kesadaranku sepenuhnya kembali, ingatan tentang segala kejadian kemarin mulai bermunculan di kepalaku. Aku menghela napas panjang, mengingat betapa melelahkannya hari itu.
Selain itu, aku juga baru menyadari bahwa aku sendiri hampir tidak makan apa pun sejak kemarin.
Hari ini, aku bertekad untuk hanya makan, beristirahat, dan tidur sepanjang hari. Namun, sebelum aku bisa menikmati pagi dengan tenang, terdengar suara ketukan di pintu.
Aku menunggu sebentar, tetapi tidak ada yang masuk. Baru kemudian aku ingat bahwa aku sendiri yang memberi perintah agar tidak ada yang masuk tanpa izinku.
Alasan utamanya tentu saja karena Asuka, tetapi sekarang aku menyadari bahwa peraturan itu cukup merepotkan.
Dengan langkah berat, aku berjalan keluar kamar dan membuka pintu. Di sana, aku melihat Asala berdiri menunggu.
“Selamat pagi, Kyle-nim.”
“Ya, selamat pagi juga. Aku lapar, bawakan sesuatu untuk dimakan.”
Asala tampak ragu sejenak, lalu akhirnya berkata,
“Baik, Tuan. Selain itu, Yang Mulia sedang menunggu di ruang tamu.”
“Hyung?”
“Ya.”
“Sejak kapan?”
“Sekitar satu jam yang lalu.”
Apa? Mahir sudah menungguku selama satu jam? Di ruang tamu?
Aku menatap Asala dengan ekspresi tidak percaya sebelum akhirnya bertanya,
“Kenapa baru bilang sekarang?”
“Saya sudah mengetuk pintu, tetapi Anda tidak menjawab, jadi saya tidak bisa memberi tahu Anda sebelumnya. Maafkan saya.”
“…..”
Memang, aku yang melarang siapa pun masuk tanpa izinku. Tapi tetap saja, ini terlalu berlebihan… atau mungkin ini memang salahku?
Tapi yang lebih penting, sekarang jam berapa sehingga Mahir sudah menungguku selama satu jam?
Aku berdiri diam sejenak, masih mencoba memproses informasi itu, sebelum akhirnya menutup pintu dan keluar. Namun, saat aku hendak langsung menuju ruang tamu tanpa berpikir panjang, Asala menghentikanku.
“Kyle-nim.”
“Kenapa?”
“Haruskah saya membawa pakaian untuk Anda?”
Aku mengernyit, bingung dengan pertanyaannya, lalu menunduk untuk memeriksa keadaanku. Saat itu juga, aku menyadari bahwa aku hanya mengenakan celana tanpa baju.
Tapi masalahnya bukan hanya soal pakaian-di sekujur tubuhku, dari lengan, dada, hingga perut, terlihat lebam-lebam kemerahan yang cukup mencolok.
“Apa-apaan ini?”
“Anda juga perlu mengganti perban.”
Begitu mendengar kata “perban”, aku secara refleks meraba tengkukku, dan rasa sakit langsung menjalar.
Saat itu, ingatan tentang bagaimana Asuka menghisap lenganku sebelum tidur pun kembali. Setelah itu, aku langsung tertidur, jadi aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.
Tidak mungkin aku bisa menemui Mahir dalam kondisi seperti ini. Yah, secara teknis aku bisa saja, tapi menjelaskan semuanya pasti akan sangat melelahkan. Jadi, sekalian saja, aku memutuskan untuk sedikit lebih lama sebelum menemuinya.
Saat sedang mandi, aku bercermin dan akhirnya bisa melihat dengan jelas betapa parahnya keadaanku.
Dari dada, perut, dan lengan-bahkan sampai ke kaki, tengkuk, punggung, dan pinggang-bekas lebam dan gigitan memenuhi seluruh tubuhku.
Padahal aku sudah memperingatkan Asuka untuk tidak menggigitku…
Tapi yang paling membuatku bingung adalah luka di sekitar daguku. Jika bagian lain masih bisa tertutupi pakaian, maka tidak dengan dagu.
Apa yang dia lakukan sampai daguku pun jadi seperti ini?
Atau jangan-jangan… aku dipukul saat tidur?
Tapi aku biasanya sangat peka saat tidur, jadi jika itu terjadi, seharusnya aku sudah terbangun.
Jangan-jangan, ini juga bagian dari kekuatan Asuka…?
Aku menyelesaikan berpakaian sambil berpikir bahwa nanti aku harus menanyakan apakah Asuka mengingat sesuatu. Karena harus menutupi bekas luka di tubuhku, aku terpaksa mengenakan seragam resmi yang biasanya bahkan tidak kulirik.
Leherku terasa tercekik, dan ada begitu banyak hiasan serta aksesori yang menggantung di pakaian ini, membuat tubuhku terasa seberat batu.
Dengan langkah malas, aku menyeret kakiku menuju ruang tamu. Di sana, aku melihat Mahir sedang duduk, menikmati teh sambil memeriksa beberapa dokumen.
“Hyung.”
Entah kenapa rasanya seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali bertemu dengannya. Aku pun mendekat dengan perasaan sedikit lega, tetapi begitu melihatku, mata Mahir langsung membesar.
“Mau kemana?”
Melihatnya terkejut hanya karena pakaianku membuatku sadar betapa berandalnya aku biasanya.
“Aku tidur lebih lama karena ada beberapa urusan kemarin.”
Begitu aku memberi alasan atas keterlambatanku lebih dari satu jam, ekspresi Mahir berubah serius.
“Aku sudah dengar. Sebenarnya ada apa?”
Karena datang tergesa-gesa, aku tidak sempat berpikir dari mana harus mulai menjelaskan. Aku tahu bahwa meskipun aku mengatakan yang sebenarnya, Mahir tidak akan melakukan sesuatu yang membahayakanku.
Tapi justru itulah masalahnya. Jika dia menganggap sesuatu sebagai ancaman bagiku, aku tidak bisa menjamin keselamatan Asuka.
Di sisi lain, berbohong juga bukan pilihan. Mahir terlalu cerdas dan sulit ditebak, jadi menipunya hanya akan menjadi bumerang bagiku.
Aku meminum teh di atas meja dengan cepat untuk membeli waktu berpikir.
“Aegis diculik.”
“Mereka bahkan tahu tentang jalur rahasia? Pasti orang Calderaia.”
Seperti yang kuduga, dia sudah mendapat laporan lengkap.
Berbohong hanya akan memperburuk keadaan.
“Ya, sepertinya begitu.”
“Kenapa kau bunuh semuanya?”
“Pada dasarnya mereka semua terlibat. Membiarkan mereka hidup hanya akan lebih berbahaya. Tapi, ngomong-ngomong, apa isi catatan itu? Yang menyuruhku menunggu? Kemarin juga, katanya hyung seharian di kamar. Apa kau…?”
Aku hendak bertanya apakah dia sakit, tetapi tiba-tiba aku terdiam.
Apakah bakal terus sampai tamat? Saya nyari nyari tl annya gada. Ditunggu ya.