Mengapa membawa He Yang?
Mungkin hanya permainan psikologis belaka.
Sesampainya di Ancheng, mereka langsung menginap di hotel milik Grup Lu.
He Yang bingung dan bertanya mengapa harus ke hotel? Apakah malam ini tidak akan kembali ke ibu kota?
Sepanjang perjalanan, Lu Tingfeng tidak mengucapkan sepatah kata pun. Sekretaris Xiao yang menjelaskan situasinya.
Tiga orang, tiga kamar terpisah.
He Yang ingin segera menyelesaikan pembicaraan tentang perceraian dan pulang, tapi Lu Tingfeng sama sekali tidak menghiraukannya. Dia dibiarkan sendiri sementara Lu Tingfeng sibuk mandi, makan, dan berenang.
Akhirnya He Yang sadar: Lu Tingfeng sama sekali tidak berniat membahas perceraian. Ini semua hanya untuk mempermainkannya.
Dalam satu malam, Xiao Xu sudah jelas melihat masalah pasangan suami istri ini.
Pernikahan Lu Tingfeng dulu tidak diumumkan, tanpa pesta atau resepsi, jadi hampir tidak ada yang tahu.
Xiao Xu tahu karena Lu Tingfeng sendiri yang memberitahunya. Saat menikah di usia 22 tahun, Lu Tingfeng masih muda, impulsif, dan pemarah. Dia bahkan pernah mengeluh tentang He Yang pada Xiao Xu.
Tak disangka hubungan pernikahan mereka ternyata sudah sedemikian buruknya.
He Yang menemui Xiao Xu dan bertanya seberapa jauh stasiun dari sini. Dia ingin pulang.
Xiao Xu melihat jamnya—hampir pukul sepuluh malam. “Nyonya, sudah larut dan stasiun cukup jauh. Kemungkinan tidak ada kendaraan lagi. Istirahatlah dulu, besok akan saya atur antar jemput.”
Keluarga Lu memang tidak pernah menyukai He Yang atau memberinya perlakuan baik. Sikap sopan Xiao Xu memberikan kehangatan di hatinya.
Kembali ke kamar, He Yang menelepon Zhou Ruixi menjelaskan situasi.
Dia jelas mendengar nada sedih dalam suara Zhou Ruixi yang berusaha tenang: “Tidak apa-apa, aku tidak takut tidur sendirian.”
Sebenarnya, sejak kecil di panti asuhan, Zhou Ruixi selalu tidur bersama adik-adik lainnya. Bahkan saat sekolah pun dia tidur sekamar dengan banyak teman.
Ini pertama kalinya dia benar-benar sendirian di rumah, tanpa teman bicara.
He Yang menyuruhnya tidur dengan lampu menyala agar tidak takut, dan berjanji besok akan pulang.
Zhou Ruixi nurut saja.
***
Pukul sebelas malam, Lu Tingfeng mengetuk kamarnya, mengajak ke pantai untuk berbicara.
Lagi-lagi He Yang percaya, mengikutinya naik mobil ke tepi pantai.
Ternyata di sana sedang diadakan balapan motor yang diselenggarakan oleh komunitas penggemar.
Hadiah pertama: uang tunai satu juta yuan.
Kebanyakan peserta balapan ini adalah orang kaya yang menjadikannya hobi. Mereka berkumpul hanya untuk bersenang-senang.
Jika bukan karena desakan kakek dan ayahnya, Lu Tingfeng tidak ingin masuk perusahaan begitu cepat.
Dia suka bersenang-senang, mencoba berbagai olahraga ekstrem: skateboard, menyelam, terjun payung, balap F1, dan sekarang paling suka balap motor.
Setelah membawa He Yang ke panggung darurat, Lu Tingfeng berbincang sebentar dengan pria berbaju merah yang tampaknya mengenalnya, lalu naik ke motor gagahnya.
Warna merah-putihnya sangat mencolok. Motor ini dilengkapi mesin 250cc twin cylinder berperforma tinggi buatan lokal, benar-benar kendaraan tempur.
Balapan ini dihadiri banyak anak muda. Di tanah lapang dekat pantai, suasana sangat meriah.
Dua wanita seksi dengan riasan tebal mengibarkan bendera kecil sambil menari menghidupkan suasana.
Lima menit kemudian, bendera start diturunkan dan para pembalap melesat bagai kilat.
Penonton di kedua sisi jalan berteriak histeris. He Yang yang tidak pernah melihat suasana seperti ini duduk gelisah di kursi plastik, mengikuti kerumunan.
Satu jam kemudian, setelah pemenang ditentukan, Lu Tingfeng melepas helm dan mendatangi He Yang yang masih bengong.
Angin pantai menerbangkan rambut dan pakaian mereka. He Yang di boncengan motor Lu Tingfeng pusing dibuatnya.
Kecepatan tinggi Lu Tingfeng membuat He Yang mencengkeram erat bajunya.
Mungkin merasakan ketakutannya, Lu Tingfeng memperlambat laju. He Yang lega dan melepaskan genggamannya.
Tiba-tiba rasa mual datang. He Yang menepuk punggung Lu Tingfeng minta berhenti.
Begitu berhenti, He Yang langsung memuntahkan isi perutnya di pinggir jalan sambil berpegangan pada tiang listrik.
Lu Tingfeng bersandar pada motornya, menyalakan rokok. Asapnya cepat mwnghilang tertiup angin, tapi He Yang tetap mencium baunya yang menusuk.
Dia menunggu dengan sabar sampai Lu Tingfeng selesai merokok sebelum mendekat.
Setelah istirahat sebentar, Lu Tingfeng kembali melaju kencang.
He Yang sudah dua kali memintanya pelan, tapi diabaikan. Terpaksa dia memeluk erat pinggang Lu Tingfeng, ketakutan dengan kecepatan gila ini.
***
Kembali ke hotel, He Yang mengikutinya ke kamar.
Akhirnya He Yang tidak tahan lagi:
“Aku tahu hari ini kamu hanya mempermainkanku. Aku tahu kamu membenciku karena memaksa kakek menikahkan kita. Kamu juga benci aku ingkar janji tentang perceraian.”
“Tapi malam ini aku serius ingin bicara. Aku tidak mau lagi mempertahankan gelar Nyonya Lu. Mari kita bercerai.”
“Baik, besok kita tanda tangani.”
“Tingfeng, aku tidak mau harta keluarga Lu. Tapi bisakah kamu, mengingat kita pernah menjadi suami istri, memberiku sepuluh ribu yuan? Hanya itu, lalu kita tidak ada hubungan lagi. Bisakah?”