Setelah memesan dua paket makanan online dan makan bersama, He Yang meminta Zhou Ruixi tetap di kamar sementara ia pergi membeli beberapa keperluan.
Yang disebut “belanja” sebenarnya adalah pergi ke pegadaian.
Kalung yang pernah ia berikan kepada Lu Wenwen yang sebelumnya dibuangnya ke tempat sampah. Saat itu, He Yang diam-diam mengambilnya kembali.
Dalam kondisi darurat sekarang, dengan sisa uang seribu yuan lebih di sakunya yang tidak akan bertahan lama, kalung itu bisa digadaikan seharga sepuluh ribu yuan.
Dengan uang sepuluh ribu yuan, jika digunakan hemat, masih bisa bertahan beberapa waktu. Ia bisa memanfaatkan waktu ini untuk mencari pekerjaan.
***
Chen Yinan sama sekali tidak menyangka akan menemukan istri Lu Tingfeng membagikan selebaran di pinggir jalan.
Berdiri di tepi jalan menahan angin musim gugur yang dingin, seorang diri membagikan tumpukan brosur.
Kalau bukan karena kebetulan lewat dan berhenti untuk membeli air minum, ia tidak akan menyadari sosok kurus itu adalah He Yang.
Setelah memotret beberapa foto dengan ponselnya, Chen Yinan menghampiri dan menyapanya.
He Yang juga tidak menyangka akan bertemu kenalan di sini, merasa agak malu.
“Ini kartu namaku, simpan saja. Jika butuh bantuan, bisa hubungi aku. Aku pergi dulu.”
Chen Yinan sempat ingin menceritakan hal ini pada Lu Tingfeng, tapi teleponnya tidak bisa dihubungi.
Dari dalam mobil, ia mengamati He Yang selama beberapa jam. Setelah selesai membagikan brosur, He Yang pergi ke sebuah restoran, menjemput seorang pemuda, lalu makan bersama di restoran cepat saji sebelum mengantarnya kembali ke sebuah penginapan.
Ketika Chen Yinan hendak pergi, He Yang tiba-tiba keluar lagi dari penginapan dan berjalan ke sebuah supermarket dekat rumah Lu Tingfeng.
Di sudut supermarket, He Yang dengan cermat merobek dan melipat kardus bekas, lalu mengumpulkan botol plastik ke dalam kantong dengan cepat.
Setelah itu, ia membawa kantong penuh barang bekas itu ke tempat penimbunan sampah terdekat. Dari jendela mobil, Chen Yinan jelas melihat He Yang menerima uang lima puluh yuan dengan senyum puas sebelum menyimpannya di saku dan berjalan kembali ke penginapan.
Dia… tidak pulang ke rumah?
Istri keluarga Lu memulung sampah? Jika dia tidak melihatnya secara langsung, itu akan sulit untuk dipercayai.
***
He Yang menerima telepon dari nomor tidak dikenal tepat setelah selesai mandi.
“He Yang, ini Chen Yinan. Tingfeng mabuk, bisa kamu jemput?”
“Dia… mungkin… tidak membutuhkan aku.” Jawabannya ragu-ragu. Sejak pindah dari rumah itu, mereka sama sekali tidak berhubungan ataupun bertemu.
Terkadang di malam hari, ia bertanya-tanya mengapa ia bersikeras mempertahankan gelar Nyonya Lu?
Hubungan pernikahan yang sudah mati suri ini lebih menakutkan daripada perceraian.
“Kami semua minum banyak, tidak bisa menyetir. Tolong jemput dia.”
“Baik, di mana alamatnya?”
Meski sudah tengah malam, meski angin malam begitu dingin, hatinya berdebar senang karena sebentar lagi bisa bertemu dengannya.
Pernah ia membaca suatu kutipan: soal cinta, kamu bisa menipu orang lain tapi tidak bisa menipu diri sendiri.
Ia memang tidak bisa membohongi diri sendiri. Meski sering disakiti oleh kata-katanya, ia masih sangat mencintai pria itu.
***
Tiba di sebuah klub pribadi, He Yang diantar pelayan menuju ruang VIP.
Pencahayaan di dalam redup. Lu Tingfeng dan teman-temannya sedang minum dan bercengkerama.
Klub ini sangat privasi, biasanya dijadikan tempat nongkrong orang-orang berstatus seperti mereka untuk menghindari paparazzi.
Di tengah sofa duduk Lu Tingfeng, satu tangan memegang gelas, satu lagi memainkan ponsel.
Begitu He Yang masuk, semua mata tertuju padanya.
Chen Yinan yang pertama menyambut, mempersilakannya duduk dan makan.
Sementara Lu Tingfeng sama sekali tidak memandangnya.
Suasana menjadi canggung sebelum mereka melanjutkan obrolan dan minum.
Chen Yinan merebut ponsel Lu Tingfeng. “Sudah larut, istrimu datang menjemputmu pulang.”
Lu Tingfeng melototi Chen Yinan, tapi tidak berkata apa-apa. Meletakkan gelas, berpamitan pada yang lain, lalu berjalan ke pintu.
He Yang mengikutinya dari belakang.
Kini Lu Tingfeng paham maksud Chen Yinan. Diundang tiba-tiba untuk minum-minum, terus didorong untuk mabuk sebelum dipanggilkan He Yang.
Begitu keluar, angin malam membuatnya lebih sadar.
Ia membuka pintu mobil dan duduk di kursi pengemudi, hendak menyetir.
He Yang mengetuk kacanya. “Kamu manuk, jangan menyetir. Aku akan panggilkan supir pengganti.”
Baru teringat dirinya memang mabuk, Lu Tingfeng tidak membantah.
Sambil menunggu supir datang, He Yang berdiri di pinggir. Entah mengapa, malam ini angin begitu kencang dan dingin. Untung ia memakai jaket tebal.
Begitu supir datang, Lu Tingfeng pindah ke kursi penumpang.
Tanpa sekalipun memandang He Yang.