Nyonya Mei Xi, meski sudah berumur, tetap memancarkan pesona. Perawatan yang baik ditambah olahraga rutin membuat tubuhnya tetap ramping dan kencang.
Rambutnya disanggul rapi, mengenakan gaun sederhana yang menempel sempurna di tubuhnya. Begitu duduk, aura elegan bangsawan langsung terpancar.
Pertemuan pertama dengan Nyonya Mei Xi membuat Zhao Libing takjub. Sungguh enak jadi orang kaya! Di usia menjelang 50-an, penampilannya masih seperti wanita 30-an.
“Halo, perkenalkan aku ibu dari Lu Tingfeng.”
Senyumnya ramah, tutur katanya penuh kesantunan.
“Halo tante, saya Zhao Libing.” Di hadapan ibu Lu Tingfeng, Zhao Libing merasa gugup tanpa alasan.
“Nona Zhao, mari kita bicara terbuka. Sebagai ibu Lu Tingfeng, aku tidak menyukaimu. Karena itu aku harap kamu menjauh dari anakku. Untuk kompensasi, keluarga Lu pasti bisa memenuhi permintaanmu.”
Zhao Libing terkejut. Ternyata kedatangannya untuk memberikan peringatan.
“Tante, saya dan Tingfeng saling mencintai. Saya tidak akan meninggalkannya, mohon pengertiannya.”
“Cinta? Nona Zhao, kamu bisa menipu anakku, tapi jangan coba menipuku. Kamu masih terlalu muda. Pencabutan kontrak endorsemenmu adalah peringatan pertama.
“Aku sudah menyampaikan apa yang ingin aku sampaikan. Silakan pertimbangkan baik-baik. Tapi jika suatu hari anakku melihat wajah aslimu, keadaanmu akan lebih buruk dari sekarang.”
Kata-kata ibu Lu Tingfeng ini benar-benar menjadi peringatan keras bagi Zhao Libing.
Memang Lu Tingfeng sangat baik padanya, selalu menuruti permintaannya. Tapi selama belum bercerai dan tidak mau menyentuhnya, ia tidak merasa aman.
Yang ia inginkan adalah posisi sebagai Nyonya Lu.
***
Kehilangan pekerjaan membuat He Yang sangat cemas.
Tanpa pekerjaan dan tabungan, sementara harus menghidupi tiga mulut – dirinya, bayi dalam kandungan, dan Zhou Ruixi – keadaannya semakin sulit.
Kini ia harus mencari kerja sambil berhemat sebisanya.
Zhou Ruixi yang tidak memahami situasi tetap ceria setiap hari: memasak untuk kakaknya, mengepel lantai, mengerjakan pekerjaan rumah sederhana.
Baru saja ia bertanya kapan He Yang bisa libur untuk menemaninya mencari kerja.
Saat menikah dulu, Lu Tingfeng hanya memberinya dua barang mewah: arloji dan cincin kawin. Arloji sudah dijual, cincin tidak mungkin ia lepaskan. Kini ia hanya bisa mengandalkan uang hasil menjual botol dan kardus bekas.
“Gege, hari ini tidak kerja?”
“Iya, gege libur, temani kamu main di rumah.”
Zhou Ruixi menunduk, berkata pelan: “Bisa temani aku cari kerja tidak?”
“Ruixi, anak baik, gege beberapa hari ini sangat lelah. Tunggu gege istirahat dulu, baru temani kamu cari kerja, oke?”
“Gege lelah? Aku akan pijat! Kata nenek pijatanku enak, nenek bilang sangat nyaman!”
“Baik, baik…”
Duduk di kursi rotan taman belakang, He Yang memandang lahan kosong yang luas. Ia berpikir untuk membuka sedikit tanah dan menanam sayur. Lebih sehat dan bisa menghemat uang.
Begitu terpikir, langsung dikerjakan. Berdua mereka mencangkul tanah kosong di belakang rumah.
Suara mobil menghentikan aktivitas mereka. He Yang menduga Lu Tingfeng pulang.
Meletakkan cangkul, ia kembali ke depan rumah. Benar, Lu Tingfeng pulang bersama kakaknya.
Zhou Ruixi bersembunyi di belakang He Yang, memandang takut pada dua orang asing itu.
Sebenarnya Lu Tingfeng pulang untuk mengambil barang-barangnya. Tapi kehadiran pria asing di rumahnya membuatnya geram.
“Siapa dia?”
“Adikku, baru datang dari kampung halaman.”
“Adik?” Lu Tingfeng mengamati bocah yang bersembunyi di belakang He Yang. Kulitnya putih, wajahnya baby face, sedikit lebih pendek dari He Yang.
“Rumahku bukan untuk orang asing. Tanpa izinku, berani-beraninya kamu membawa orang asing tinggal di sini?”
Zhou Ruixi mungkin lambat berpikir, tapi tidak bodoh. Ia tahu pria galak ini sedang mengganggu kakaknya. Ia berdiri tegap melindungi He Yang:
“Jangan ganggu kakakku!”
Lu Tingfeng hanya memandang sinis pada mereka sebelum masuk rumah.
Di dalam kamar, ia mengumpulkan barang-barang pribadinya. Penolakan He Yang untuk bercerai sebenarnya tidak terlalu berpengaruh, hanya saja ia tidak ingin bertemu dengannya.
Karena itu ia memutuskan pindah kembali ke rumah utama keluarga.
Saat hampir selesai, ia melihat piyamanya terlipat rapi di atas bantal. Padahal ingatannya, piyama itu disimpannya di lemari.
Bagaimana bisa ada di sini?
Membuka selimut, ia menemukan jas hitam santainya. Di lantai terlihat sandal wol yang jelas milik He Yang.
Di samping tempat tidur, ada foto pernikahan mereka yang dibingkai rapi.
***
“He Yang, apa rencanamu ke depan?” tanya Lu Tinghao.
Pernikahan mereka hanya tinggal nama. Tanpa cinta dari Lu Tingfeng yang ingin bercerai, hanya penolakan He Yang yang membuat keadaan tetap begini.
Tapi orang yang sedikit cerdas pun tahu, keluarga Lu tidak pernah memberi He Yang uang sepeser pun. Tanpa pekerjaan, terakhir kali bertemu He Yang bahkan terlihat membawa sampah.
Memalukan! Istri keluarga Lu hidup seperti pengemis! Jika sampai tersiar kabar Nyonya Lu pemulung, pasti akan menjadi bahan tertawaan.
Satu ingin cerai, satu menolak. Meski mempertahankan gelar Nyonya Lu, akhirnya tetap tidak akan baik.